Inggit Garnasih dilahirkan di Desa Kemasan,
Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat 17 Februari 1888 di tengah keluarga
sederhana, dari seorang anak petani bernama Ardjipan dan ibunya bernama Asmi.
Mempunyai dua orang saudara, Natadisastra dan Murtasih. Masa kecilnya di lewati
dengan riang sebagai anak yang disukai oleh sebayanya. Parasnya ayu salah satu
sebab mengapa banyak orang yang mengaguminya.
Namun di usia sangat belia, 12 tahun , pada
tahun 1990, Inggit sudah harus memulai kehidupan rumah tangga dengan Kopral
Residen Belanda, Nata Atmadja. Bahtera rumah tangganya tidak berlangsung lama,
hanya empat tahun, akhirnya mereka bercerai. Selang beberapa waktu, Inggit
menikah lagi dengan Sanusi, seorang pedagang masanya dan terlibat dalam organisasi
Sarekat Islam yang ketika itu sedang popular sebagai organisasi masa islam awal
periode pergerakan. Ketika kongres pertama Sarekat Islam di Bandung pada tahun
1916, Inggit telah terlibat sebagai panitia, yang secara langsung memberinya
ruang untuk membaca situasi sosial politik pada saat itu.
Di lihat dari segi pendidikan formal, Inggit
hanya mencicipi tingkat pendidikan paling buntut , Madrasah Ibtidaiyah
(setingkat sekolah dasar) . Pada saat itu, akhir abad ke-19, pendidikan
setingkat itu sudah cukup memadai, apa lagi bagi perempuan pribumi di tengah
diskriminasi sosial. Pengalaman membuat Inggit mempunyai pribadi yang matang
dan karakter yang kuat. Sosok Inggit seperti itu sudah mulai terbentuk sejarah
mempertemukan Inggit dengan Soekarno dan memilih untuk hidup bersama dalam
bahtera rumah tangga pada 24 Maret 1923.
Tanpa mengurangi peran para perempuan (lain)
dalam hidup soekarno , nampaknya Inggit Garnasihlah yang berada dalam posisi
penting tersebut. Kematangan dan kedewasaan serta pencapaian intelektual
seseorang pada umumnya dicapai pada usia 40-an tahun, termasuk manusia yang
bernama Soekarno. Selama proses pencapaian itu , separuhnya ia jalani bersama
dengan Inggit Garnasih.
Sejarah umat manusia membuktikan bahwa antara
perempuan dan kekuasaan memang tidak
bisa dilepaskan begitu saja. Segudang cerita tentang tokoh perempuan yang
berperan dalam perjuangan suaminya begitu besar kendati jasanya ada di balik
layar dan terkadang hilang di telan jaman.
Salah satu dari sekian banyak perempuan yang
telah menorehkan sejarah bagi bangsa Indonesia di masanya, tetapi namanya tak
lekang oleh waktu adalah Inggit Garnasih. Inggit sejatinya merupakan perempuan
yang turut mengharumkan nama bangsa Indonesia. Posisinya sebagai istri Soekarno
( istri kedua setelah Oetari ), menjadi sumber inspirasi pejuangan dalam kancah
politik. S.I Poeradisastra dalam pengantarnya pada buku Ku Antar ke Gerbang Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Sukarno karya
Ramadhan K.H., mengatakan bahwa separuh daripada semua prestasi Sukarno dapat
didepositokan atas rekening Inggit Garnasih dalam ‘bank jasa nasionalisme
Indonesia’.
Pengorbanan dan pengabdian di berikan dengan
tulus oleh Inggit. Hampir duapuluh tahun
dia menjalani kehidupan bersama soekarno yang tak lepas dari masa
tahanan dan pelarian. Sejak 1929, Inggit harus menerima kenyataan pahit dengan
di tangkap dan di penjarakannya Sukarno. Keadaan itu tidak sekali terjadi. Pada
tahun 1933, kurang lebih setelah dua tahun dibebaskan dari Sukamiskin, Sukarno
kembali ditangkap.
Sebuah pukulan berat harus di terima oleh
Inggit karena Sukarno kemudian di buang ke Ende. Makin berat perjuangan Inggit
pada saat itu. Ternyata di pulau asing itu pun dia harus bergiat ‘mengayun
tangan’ . Hal ini di karenakan Sukarno belum mempunyai pekerjaan tetap. Inggit
terus berjuang mendampingi Sukarno bersama kedua anak angkatnya Ratna Juami dan
Kartika. Inggit merawat Sukarno di kala sakit malaria, hingga ia sendiri
kehilangan ibu yang dicintainya, Ibu Asmi.
Perjuangan Sukarno melawan penyakit malaria demikian
parah menyebabkan dia di pindahkan ke Bengkulu. Dikota yang masih lengang ini
Inggit kembali berjumpa dengan kesukaran. Tidak lama setelah berhijrah ke
tempat ini, Jepang mendarat di Indonesia dan memasuki kota Bengkulu. Kondisi
ini menyebabkan kehidupan Sukarno dan keluarga makin sulit. Didalam
otobiografinya, Sukarno mengungkapkan bagaimana susahnya dalam pelarian dari
Bengkulu hingga padang. Pada saat genting yang semacam ini, Inggitlah perempuan
yang paling menguatkannya.
Di kala kesedihan yang di arungi bersama mulai
reda, Sukarno mendambakan yang lain, dia mempunyai keinginan untuk mempunyai
seorang anak. Sebuah keinginan yang memukul hati Inggit, mengapa baru dikatakan
keinginan itu setelah umurnya 53 tahun, bukan sewaktu dibandung ataupun di
Ende. Keinginan yang manusiawi, tetapi menjadi bara api yang membakar bahtera
rumah tangga.
Tidak disangka, Sukarno telah menyimpan hati
untuk Fatmawati yang tidak lain juga anak angkatnya sewaktu di Bengkulu.
Kondisi makin memanas sewaktu Sukarno meminta menikah dengan Fatma, demikian
panggilan akrab gadis manis ini. Dengan tegas inggit mengucapkan, “Itu mah pamali, ari di candung mah cadu”
(itu pantang, kalau dimadu pantang). Ucapan itu mengakhiri segalanya karena
Sukarno tetap akan menikah dengan Fatmawati.
Itulah Inggit. Dia berbeda dengan istri
Sukarno lainnya. Kesedihan dan kesengsaraan yang di arungi bersama selama
hampir 20 tahun tidak di rasakan buahnya saat Sukarno mencapai gemilang. Dalam
babak akhir rumah tangganya dengan Sukarno, dia mengatakan dalam bahasa yang
dalam, “Sesungguhnya aku harus senang
pula karena dengan menempuh jalan yang tidak bertabur bunga, aku telah
mengantarkan seseorang, aku telah mengantarkan seseorang sampai di gerbang yang
amat berharga.”
Cinta yang tumbuh didada Sukarno tak dapat di
tahan. Setelah Inggit kembali ke Bandung dan resmi bercerai, Sukarno kemudian
menikah dengan Fatmawati. Tepat pada Juli 1943, ikrar sudah di ucapkan.
Pernikahan di lakukan dengan nikah wakil karena Fatma masih berada di Bengkulu.
Karena keadaan belum memungkinkan bagi Sukarno untuk menjemputnya.
Sebulan setelah perkawinan, Fatma di boyong ke
Jawa dan berkumpul bahagia dengan keluarga Sukarno di Jawa Timur. Tepatnya 22
Agustus 1943. Bertempat di Jalan Pengangsaan
Timur No. 56, dirayakannya sebuah pesta pernikahan di tengah keluarga
dan teman. Setahun setelah perkawinannya dengan Fatmawati , suasana kegembiraan
menyelimuti hati Sukarno. Fatma hamil, itu artinya keinginannya untuk mempunyai
keturunan segera terkabul. Beberapa bulan kemudian lahirlah putra pertama. Bayi
laki-laki itu di beri nama Guntur Sukarnoputra. Di tahun-tahun berikutnya
Fatma kembali melahirkan, masing-masing
: Megawati, Sukmawati, Rahmawati, dan yang terkecil adalah Guruh Sukarnoputra.
Akan tetapi tidak lama, kebahagiaan yang di
rasakan oleh Fatma harus hilang dari
gengaman. Kembali Sukarno jatuh cinta. Sukarno dengan nada memohon, agar Fatma
mengizinkannya menikah lagi. Tidak ada alasan yang diberikan sebagaimana dulu
terang-terangan di kemukakan kepada Inggit. Tapi sekarang berbeda Sukarno
adalah seorang presiden nomor satu di Negara RI, bukan lagi seorang buangan.
Nampak jelas bahwa kecantikan
perempuan adalah senjata yang membunuh Sukarno. Hati Sukarno sudah menjelajahi
wanita-wanita cantik lain yang dinikahi selang satu sampai tiga tahun saja.
Sebutlah Hartini, Dewi, Kartini, Haryati, Yurike, dan Heldy. Entah karena
alasan apa, mungkin hanya karena ia adalah pencinta wanita. Sesederhana itu.
Mereka ratu-ratu di hati Sukarno yang mendapat kedudukan yang istimewa dengan
harta yang melimpah.
Berbeda dengan Inggit, dia hanya
mendapatkan rasa pahit, sedangkan manisnya tidak didapatkan sama sekali. Sukarno
pernah merasakan betapa berharganya Inggit dalam hidupnya. Dengan kata romantis
, dia mengungkapkan bahwa Inggit Srikandi baginya. Seorang perempuan penuh
sembada, penuh kesetiaan, dan pantang menyerah tatkala kemiskinan dan
kekurangan menghadang. Inggit tetap menikmati hidup sebagai orang kecil. Karena
kesederhanaannya itu, Inggit mampu hidup bersahaja dan penuh syukur. Dengan
berjualan bedak, meramu jamu, dan menjahit mampu hidup layak sebagaimana
perempuan pada umumnya.
Cinta Inggitpun tidak usang dimakan
waktu. Inggit mencintai Koesno (Sukarno) dengan sepenuh jiwa dan segenap hati.
Kendatipun telah berpisah, rasa cinta dan kasih sayang masih tertanam di lubuk
hatinya. Foto Sukarno masih tertempel di kamar. Hal itu menjadi perlambang
bahwa Inggit masih menyimpan kenangan bersamanya. Dia member tanpa meminta, dia
memberi tanpa pamrih. Kecintaannya kepada Sukarno membuatnya berani menghadapi
tantangan kehidupan yang tidak manis. Bahkan ia mampu memenuhi kebutuhan Sukarno dan keluarganya dengan tangan sendiri
waktu dulu. Dengan dalam Inggit mengucapkan “Sebagai istri, Inggit tidak mau seperti kucing, diberi makan lantas tidur.
Kita mesti bekerja. Jadi tentang urusan rumah tangga jangan jadi pikiran Kusno.
Inggit bisa cari uang bikin pakaian dan jual kain.”
Lama tidak bersua, sang pujaan yang
telah menjadi nomor satu di Indonesia datang bertandang seolah membawa sejuta
kenangan yang sudah lama hilang. Pada pertemuannya yang pertama Sukarno berkata
dengan lembut kepada inggit. Perkataan itu mengandung permintaan maaf yang
dalam atas kesalahan yang membuat Inggit sakit hati. Inggit hanya menanggapinya
dengan ringan dan berucap, “Tidak usah
diminta Ngkus, sudah lama Nggit maafkan Ngkus. Ngkus pimpinlah Negara dan
rakyat dengan baik, seperti cita-cita kita dulu.”
Pada tahun 1960, Sukarno kembali
menginjak kaki di Bandung untuk mengunjungi Inggit. Kala itu Inggit sedang
sakit. Lama Sukarno memandangi Inggit yang kala itu sedang berusia 72 tahun.
Sukarno dan Inggit berpelukan, tenggelam dalam keharuan. Pelan-pelan Sukarno
menanyakan., “Sakit apa Nyai ?”,
Inggit menjawab “ Biasa Ngkus, penyakit
rakyat”. Mendengar jawaban itu Sukarno terdiam, jawaban itu mengandung
makna yang luas, walaupun sebenarnya Sukarno tahu sakitnya Inggit karena
kekurangan vitamin.
Tidak disangka pertemuan pada tahun
1960 menjadi pertemuan yang terakhir. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni
1970, Sukarno berpulang kepangkuan Illahi. Ketika melihat jenazah Sukarno
terbaring didalam peti, terdengar suara lembut dan sayu mengucapkan “Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit
didoakeun…”
Sehari setelah Sukarno dimakamkan di Blitar,
berdatanglah orang-orang kerumah Inggit untuk
menyatakan bela sungkawa. Salah seorang wartawan misalnya menanyakan, “Apa
yang Ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak?”, Inggit menjawab “Negara kita ini, untuk kita semua, untuk
seluruh rakyat , dan keturunan bangsa kita ?”. Sejenak wartawan itu terdiam,
kemudian melanjutkan pertanyaannya, “Yang
saya maksudkan harta pusaka untuk Ibu pribadi?” Inggit menjawab kembali, “Kenangan yang tak terlupakan, yang ibu
simpan di dalam hati, yang akan menemani ibu masuk kedalam kubur.”
Akhirnya pada tanggal 13 April 1984,
setelah terdengar azan magrib Inggit Garnasih meninggal dunia. Sekedar tanda
kenangan , pada masa Presiden Sukarno,
Inggit menerima penganugerahan tanda Kehormatan “Setyalancana Perintis
Pergerakan Kemerdekaan” pada tanggal 17 Agustus 1971. Kemudian setelah
wafatnya, dimasa presiden Soeharto, berdasarkan keputusan Presiden Republik
Indonesia, No: 073/TK/Tahun 1997, tertanggal 11 Agustus 1997, pemerintah
menganugerahkan tanda Kehormatan “Bintang Mahaputra Utama” yang penyerahan
dilaksanakan pada 10 November 1997 di Istana Negara.
Nama Inggit Garnasih memang seolah
hilang dari sejarah. Akan tetapi kalau kita mau jujur pada sejarah terlihat
jelas bahwa Inggit sangat menaruh perhatian yang besar kepada kesayangannya,
Sukarno, yang bisa dipanggil Kusno. Inggit menyediakan sarapan tiap pagi,
menjahitkan baju dikala sobek, memijit dikala sakit, dan memberi kasih sayang
sepenuh jiwa ketika kerinduan dan datangnya cinta dari seorang perempuan dirindukan Sukarno.
Dalam urusan cinta umur bukan menjadi
penghalang. Kesetiaan yang diberikan oleh perempuan usia tigapuluhan kepada
pemuda yang umurnya masih kepala duapuluh meninggalkan sejarah menarik. Ibarat
Muhammad dengan Khadijah, mereka adalah teladan jalinan cinta abadi yang tidak
memandang umur. Dengan keluhuran budinya, Inggit mampu mengantarkan dan
mewujudkan orang yang dicintai kegerbang harapan.